Jakarta – Jelang Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019, Wakil Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama ( LDNU), KH. Muhammad Nur Hayid mendukung upaya pencegahan politisasi Masjid guna menghindari memuluskan kepentingan terselubung dan urusan duniawi.
“Masjid adalah tempat yang sangat agung dan mulia, sementara politik adalah tempat sangat hina ketika politik itu untuk memenuhi syahwat hawa nafsunya,” tegas KH. Muhammad Nur Hayid.
Hal itu mengemuka saat acara deklarasi yang dihadiri ratusan jamaah dan Takmir se Jabodetabek di Aula Masjid Nur Darajatun Kompleks Buruh TKBM Rumah Susun Cilincing Jl. Inspeksi Cakung Drain Cilincing Jakarta Utara, Kamis (15/2/2018).
Menurut Nur Hayid, Masjid merupakan rumah Allah yang harus dijaga dari hal-hal yang merendahkan. Maka itu, dia mengingatkan agar Masjid di kembalikan fungsinya sebagai tempat terhormat mengagungkan Allah SWT.
“Pastikan masjid sebagai rumah Allah, maka jauhkan dari hal-hal yang merendahkan Allah. Jaga kebersihan, akhlak orang-orang yang didalamnya. Jangan sampai isinya caci maki dan adu domba,” sebutnya.
“Barangsiapa menjadikan masjid untuk kepentingan duniawinya maka Allah akan meleburkan pahala dan amal ibadahnya selama 40 tahun. Capek-capek ibadah, hangus amal dan ibadahnya,” ucapnya.
“Stop provokasi, fitnah, mencaci maki, mengkafirkan dan mengajak orang lain untuk ikut partainya dan mencoblos orang yang didukungnya di dalam Masjid,” bebernya.
Nur Hayid menceritakan pengalaman fenomena Pilkada 2017 yang dianggap sangat mengerikan. Dia menyebutkan bahwa politik praktis disusupkan ke dalam khutbah Masjid. Ceramahnya justru membuat permusuhan, bukannya mendapatkan ketenangan malah menjadikan orang-orang hilang arah. Sampai-sampai orang meninggal tidak boleh disholati, cuma gara-gara beda pilihan politik jadi tidak disholari di Masjid.
“Ini adalah tahun politik, takmir dan pengurus masjid harus bisa mencegahnya agar tidak terjadi demikian. Mari menjaga Masjid-masjid dari aliran yang sejatinya bukan untuk menambah kemaslahatan tapi memecah belah umat. Ini jihad luar biasa, jika kita bisa mencegah politisasi masjid,” bebernya.
“Kita peringatkan kepada siapapun agar tidak jadikan masjid sebagai ruang untuk tidak berpolitik praktis,” tukasnya.
Sementara itu, Pengurus DPP Jam’iyah Ahli Toriqoh Mu’tabaro Indonesia (JATMI) KH. Miftahul Huda juga mengaku kecewa dengan kelompok yang suka membid’ah-bid’akan sholawatan, tahlilan, wiridan. Kata dia, justru kelompok tersebut lah yang anak keturunan PKI.
“Ada yang bilang shalawatan, tahlilan, wiridan bid’ah. Orang yang tidak suka dengar shalawatan, tahlil, wiridan ini adalah anak turunnya PKI,” cetusnya.
Penceramah selanjutnya, Alumni Ponpes Modern Gontor KH. M. Nova Andika mengatakan bahwa suhu dan eskalasi politik jelang Pilkada Serentak dan Pilpres 2019 sudah semakin memanas. Oleh karenanya, dia mengajak kepada jamaah untuk tidak mudah terpancing untuk marah.
“Untuk mencapai kekuasaan, saat ini orang sudah tidak lagi pakai etika, sopan santun, tapi dengan cara tidak waras, kebiadaban dan cara binatang,” ujarnya.
“Masjid jangan lagi dijadikan tempat untuk berkampanye, tapi fungsi masjid sebagai tempat ibadah yang isinya untuk bertaqwa kepada Allah. Kabari tetangganya agar ikutan cegah masjid sebagai tempat berpolitik,” tukasnya.
Takmir Masjid se Jabodetabek Deklarasikan Cegah Politisasi Masjid
Sementara itu, para Takmir Masjid se Jabodetabek mendeklarasikan mencegah segala bentuk politisasi masjid. Hal itu dinilai bisa menyebabkan persatuan umat terpecah belah.
“Demi terciptanya suasana keagamaan di Indonesia dengan aman, damai, tentram dan kondusif, terlebih di lingkungan Masjid, maka kami perwakilan Takmir Masjid Se-Jabodetabek, dengan semangat Hubbul Wathon Minal Iman mendeklarasikan cegah politisasi Masjid,” demikian disampaikan Ketua Forum Rembuk Masjid Indonesia (Formasi) Gus Sholeh Marzuki.
Lebih lanjut, Gus Sholeh mengajak semua pihak untuk bersama-sama mencegah oknum yang memfungsikan Masjid dari unsur Politik praktis. Dan mengutamakan fungsi Masjid untuk tempat beribadah kepada Allah Ta’ala.
“Menjadikan Masjid sebagai sarana untuk mempersatukan umat, bukan dijadikan sarana memecah belah umat dan memperuncing perbedaan,” jelasnya.
Lebih jauh, Gus Sholeh melanjutkan agar menjadikan Masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan dan menjadikan mimbar-mimbar Masjid sebagai media untuk menyampaikan dakwah atau ajakan menjalankan ajaran agama secara sejuk dan damai, menerima perbedaan dan saling menjunjung toleransi, bukan caci maki, ujaran kebencian dan ajakan permusuhan.
“Mencegah masuknya Khotib dan Penceramah Masjid yang berpaham radikal, takfiri, intoleran dan anti Pancasila,” pungkasnya.