JAKARTA – Korban sarang burung walet di Bengkulu membongkar borok penyidik KPK Novel Baswedan yang saat itu menjabat sebagai Kasat Reskrim di Polres Bengkulu.
Para Korban tersebut diantaranya Irwansyah Siregar, Dedi Muryadi, Dony Yefrizal Siregar dan M. Rusli Alimsyah yang mencari keadilan didepan Kejaksaan Agung itu pun blak-blakan peristiwa yang terjadi kala itu.
Doni Yefrizal menceritakan kejadian kelam yang dialaminya saat berhadapan dengan Novel Baswedan. Dia mengaku pernah disiksa dan disetrum disekujur tubuhnya. Bahkan kemaluannya juga terkena setrum.
“Dan kami juga ditembak dan kawan kami mati satu terkena tembakan, dan setelah itu kami dimasukkan kedalam sel,” ucap Doni.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi virtual *BERANI JUJUR HEBAT* : Dari #Gaksengaja Nembak Sampai Hilangkan Nyawa Seseorang, Kamis (25/6/2020).
Maka itu, dirinya meminta keadilan dan haknya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) agar diperlakukan sama dalam hukum, sehingga berkas perkara yang menyeret Novel Baswedan itu bisa disidangkan.
“Saya minta kepada Jaksa Agung dan pak Presiden kalau bisa berkas kami dilimpahkan dari Kejaksaan Agung, ke Pengadilan Negeri Bengkulu,” sebut Doni.
Sementara itu, korban lainnya Dedi Nuryadi mengaku dirinya sebagai saksi salah tangkap dan ia merasa tidak bersalah. Namun, justru mendapatkan perlakuan yang sama seperti pelaku sarang walet.
“Sebenarnya saya saksi salah tangkap, saya tidak salah, bahkan saya dengan mereka tidak kenal. Mengapa saya ditangkap dan di siksa, saya ingin Jaksa Agung tetap sidangkan Novel. Karena Novel itu penjahat,” terang Dedi.
Dia bersumpah jika dirinya adalah korban dan tidak melakukan pencurian sarang burung walet. Ia juga memohon kepada Presiden dan Jaksa Agung agar menyidangkan Novel Baswedan dalam kasus sarang burung walet di Bengkulu.
“Demi Allah saya tidak pernah yang mana melakulan pencurian sarang burung walet. Saya memang benar-benar korban, dan saya memohon kepada bapak Presiden dan Jaksa Agung tolong sidangkan Novel Baswedan. Kalau dia memang bersalah, dia harus disidangkan, itu yang saya minta,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, korban sarang walet Irwansyah menuturkan pihaknya datang ke Jakarta untuk mencari keadilan karena hal itu dilindungi oleh Undang-Undang.
“Seluruh warga Indonesia berhak mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang seperti Novel yang saat ini dia sebagai korban, dia mencari keadilan agar si pelaku dapat ditangkap dan disidangkan. Kebutuhan haknya sudah terpenuhi dan si pelaku sudah disidangkan. Sementara kami ini sebagai korban penganiayaan Novel Baswedan pada 2004 yang pada waktu itu sedang menjabat sebagai Kasat Reskrim Polrestabes Bengkulu, dia melakukan penganiayaan terhadap kami,” papar Irwansyah.
Dan pihaknya akan terus melakukan perlawanan terhadap Novel Baswedan dengan cara melakukan gugatan. Setelah diajukan gugatan, pihaknya melakukan praperadilan dan menang, dan hakim menyatakan berkas Novel Baswedan segera disidangkan. Tapi kenyataannya sampai saat ini berkas Novel belum juga disidangkan.
“Kami menuntut hak kami sama seperti Novel juga. Hak kami juga dilindungi undang-undang, jadi bagaimana keputusan dari Kejaksaan ini. Sementara berkasnya masih ditahan di Kejaksaan Agung, makanya kami ke Jakarta untuk mencari keadilan, supaya Kejaksaan Agung dibukakan matanya terang-terang,” sambungnya.
“Jangan kasus Novel saja, kasus kami juga diungkap, segera di sidangkan, karena berkas beliau sudah di register di Kejaksaan Bengkulu. Jadi kenapa sampai saat ini tidak disidangkan, ini yang kami kejar sampai ke Kejaksaan Agung ini,” tambah Irwansyah lagi.
Korban sarang walet lainnya M. Rusli Aliansyah mengaku Novel Baswedan melakukan penodongan pistol ke arah Kepala nya sebelum melakukan penembakan ke kakinya.
“Perkara Novel Baswedan ini sudah ditentukan jadwal sidangnya di Kejaksaan Bengkulu, kenapa kok bisa ditarik oleh Jaksa Agung,” kata Rusli.
“Sampai saat ini, karena alasannya untuk memperbaiki, tapi sampai saat ini berkas itu belum dikembalikan ke Bengkulu. Jadi kami datang ke Jakarta, ke Kejaksaan Agung, semoga berkas yang dibawa Kejaksaan Agung dilimpahkan kembali ke bengkulu, itu harapan kami,” tegas Rusli lagi.
Menanggapi keluhan para korban tersebut, praktisi hukum Muannas Alaidid mengapresiasi upaya korban yang hari ini masih mencari keadilan dan membuat tenda didepan Kejaksaan Agung.
“Saya secara pribadi mengapresiasi dan memahami rasa keadilan yang diperjuangkan oleh keluarga korban selama 16 tahun. Mereka harus menuntut padahal bukti-bukti sudah terang benderang,” beber Muannas.
Dia menjelaskan bahwa korban yang saat ini masih ada, saksi, pelaku, barang bukti ditambah lagi adanya putusan pengadilan yang memerintahkan bahwa perkara itu untuk segera dilimpahkan. Sebagaimana ketentuan pasal 82 ayat 3 bahwa putusan praperadilan yang memerintahkan agar gelar perkara itu segera disidangkan adalah wajib.
“Artinya mau tidak mau suka tidak suka harus segera disidangkan,” cetus Muannas.
Dia menegaskan bahwa berkas perkara atau kasus yang melibatkan Novel Baswedan itu dianggap tidak cukup bukti atau diangkat atau dianggap perkaranya kadaluarsa itu sangat mengada-ada. Dengan perkara itu dilimpahkan ke pengadilan sebelum kadaluarsa itu membuktikan bahwa perkara itu jelas.
“Dikatakan tidak cukup bukti dan kadaluarsa itu mengada-ada, ketika diuji Pengadilan oleh para korban kemudian menunggu perkara untuk dilimpahkan dan sudah mendapatkan jadwal persidangan, tapi nyatanya mereka dikerjain, dengan alasan perbaikan berkas perkara ditarik, kemudian dianggap perbaikan dakwaan, lalu para korban marah dan menggugat di pradilan dan dimenangkan,” sambung Muannas.
Dia menambahkan ST Burhanuddin sebagai Kejaksaan Agung yang baru bisa memberikan rasa keadilan sebagaimana bukti-bukti sudah disampaikan dan kepada para korban terus berjuang menuntut keadilan.
“Jaksa jangan hanya berhenti dikasus Novel sebagai korban dalam kasus penyiraman tapi juga harus diproses juga ketika dia terlibat dalam kasus penganiyaan dan pembunuhan korban sarang burung walet,” pungkasnya.