Jakarta – Indonesia Police Watch (IPW) meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengkaji kembali rencana perekrutan 57 eks pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) di Polri.
Pasalnya, IPW menilai rencana perekrutan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-perundangan, mulai dari Undang-Undang 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil serta Peraturan Kapolri 4 Tahun 2013 tentang Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Polri.
“Sehingga kalau perekrutan itu dipaksakan maka Kapolri Listyo Sigit akan melanggar hukum dan akan menuai polemik serta menimbulkan kegaduhan berlanjut. Karena sangat rentan untuk digugat secara hukum oleh banyak pihak,” kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santosa melalui siaran pers, Jumat (19/11/2021).
Kecuali, lanjut Sugeng, Kapolri saat ini melakukan langkah revisi Undang-Undang 5 tahun 2014 tentang ASN dan mengubah PP 11 Tahun 2017 tentang manajemen serta Perkap 4 Tahun 2013 tentang Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Polri sebagai payung hukumnya.
“Opsi ini dilakukan, kalau Kapolri masih mempunyai niat baik menolong 57 eks pegawai KPK. Salah satunya dengan menghilangkan klausul persyaratan umum calon PNS tidak pernah diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat. Disamping tentunya kelulusan tes sebagai syarat menjadi PNS dihilangkan,” ujarnya.
Padahal, sebut Sugeng, secara nyata 57 orang itu sudah diberhentikan dengan hormat oleh KPK sejak tanggal 30 September 2021 karena tidak lulus TWK. Sehingga, Kepala BKN Bima Haria Wibisana sudah mewanti-wanti Polri kalau perekrutannya 57 mantan pegawai KPK itu tidak menabrak aturan baik undang- undang maupun peraturan pemerintah.
“Karena itu, IPW mengingatkan Kapolri Listyo Sigit untuk legowo membatalkan rencana rekrutmen pecatan KPK tersebut. Sebab, yang harus dipahami, Polri adalah Lembaga negara penegak hukum, tentu bekerja dengan landasan hukum bukan atas dasar kekuasaan semata,” tegas Sugeng.
“Polri bukan institusi swasta yang memiliki sistem diluar sistem administrasi negara dan diluar sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Sehingga dalam pengadaan PNS harus menjunjung tinggi prinsip legalitas dan tidak memaksakan diri merekrut pecatan KPK dengan melanggar hukum,” jelasnya.
Yang pasti, tambah Sugeng, ketentuan hukum terkait rekrutmen ASN termasuk pada Polri dan juga untuk 57 mantan pegawai KPK harus sesuai dengan, pertama, UU 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan PP 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Di dalam UU ASN dinyatakan syarat untuk menjadi ASN sesuai dengan rekrutmen PNS. Hal ini perlu karena 57 pegawai KPK itu sejak 30 September 2021 diberhentikan dan sudah bukan lagi pegawai KPK dan mereka menjadi Orang Bebas.
Yang kedua, lanjut Sugeng, untuk rekrutmen 57 orang tersebut menjadi PNS, harus berpijak pada syarat antara lain, faktor usia, kesetiaan kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintah. Disamping memenuhi syarat telah lulus tes untuk menjadi PNS yang meliputi tiga jenis tes yakni kompetensi dasar, kompetensi bidang dan tes sosiokultural.
“Tes sosiokultural (TWK) ini, untuk melihat integritas kepada bangsa dan negara yaitu kesetiaan kepada pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintah yang sah. Sehingga bagi siapa saja yang tidak lulus ujian TWK, jelas tidak layak jadi PNS,” terangnya.
Disamping itu yang ketiga, kata Sugeng, ada syarat lain yang perlu diperhatikan untuk menjadi ASN sebagaimana pasal 23 huruf c PP 11 Tahun 2017 dan pasal 8 Perkap 4 Tahun 2013, salah satunya adalah, bahwa untuk menjadi ASN tidak pernah diberhentikan baik dengan hormat maupun tidak dengan hormat dari keanggotaan TNI, Polri dan PNS.
“Terkait ini, tentu semua orang mengetahui bahwa ke 57 orang yang akan direkrut oleh polri adalah pegawai yang telah diberhentikan oleh KPK. Bahkan ada juga pegawai yang mengalami pemberhentian dua kali karena pernah juga diberhentikan dari keanggotaan Polri,” paparnya.
“Sehingga, kalau Polri terus bermanuver untuk memuluskan jalan ke 57 orang yang pernah diberhentikan dengan hormat oleh KPK dengan membuat payung hukum baru maka akan menjadi bumerang dan mencoreng institusi Polri. Akibatnya, akan mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap Polri,” pungkas Sugeng.