Jakarta – Rencana revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan masyarakat. Hal tersebut dianggap berbahaya, lantaran usulan revisi tersebut memperluas kewenangan TNI tak hanya di sektor pertahanan tapi juga keamanan.
Rencana memasukkan prajurit aktif ke dalam institusi/lembaga sipil yang lebih luas melalui revisi UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), tidak tepat dan tidak beralasan.
Disampaikan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur dalam “Refleksi 25 tahun Reformasi: RUU TNI Mengancam Demokrasi dan Melanggar Konstitusi” di Café Sadjoe Tebet, Jakarta Selatan.
“Pertimbangan ingin memasukkan TNI ke dalam institusi sipil tidak jelas dan tidak beralasan,” kata Isnur.
Dia mengatakan, masalah koordinasi antar institusi menjadi suatu hal yang serius di Indonesia hari ini. Menurutnya, jika cakupan penempatan prajurit aktif di instansi sipil ditambah, maka akan banyak operasi yang tumpang tindih.
“Seharusnya program yang telah berjalan yang melibatkan TNI seharusnya dievaluasi terlebih dahulu. Kita harus mengawal perubahan dalam reformasi pertahanan dalam TNI,” katanya.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri. Menurut Gufron, perluasan kewenangan TNI ke ranah keamanan adalah keliru. Sebab di negara demokrasi, militer berfungsi sebagai alat pertahanan negara yang disiapkan untuk menghadapi perang. Karena itu memposisikan militer sebagai alat keamanan negara berpotensi dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat yang dinilai sebagai ancaman keamanan negara.
“Dengan masuknya militer dalam menjaga keamanan dalam negeri, berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan mengembalikan format dan fungsi militer seperti di masa rezim otoriter orde baru,” ujar Gufron dalam releasenya.
Terdapat sejumlah usulan perubahan pasal yang kontroversial dalam revisi UU 34/2004. Diantaranya revisi Pasal 3 UU 34/2004 yang sebelumnya mengatur pengerahan dan penggunaan kekuatan militer berada di bawah kendali Presiden diusulkan diubah menjadi TNI alat negara di bidang pertahanan dan keamanan berkedudukan di bawah Presiden.
Gufron mencatat beberapa poin krusial yang dijadikan alasan penolakan usulan revisi UU 34/2004. Pertama, revisi UU 34/2004 melanggar mandate konstitusi karena terdapat aturan terkait pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Padahal Pasal 10 UUD 1945 jelas menyatakan, “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) ddan Angkatan Udara (AU)”. Kekuasaan presiden tersebut dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata.
Poin kedua, revisi bentuk pelanggaran prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yang demokratis. Karena Pasal 14 UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyebutkan, “Presiden berwenang dan bertanggung jawab atas pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia”. Dihapusnya kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh Presiden sebagaimana usulan revisi UU 34/2004 sangat berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kendali Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Poin selanjutnya, revisi tersebut menunjukkan syahwat politik untuk memperluas keterlibatan peran militer selain bidang pertahanan negara. Terlihat dalam Pasal 7 ayat (2) yang membahas perluasan operasi militer selain perang dari 14 menjadi 19 poin. Mencakup sejumlah tambahan kewenangan operasi militer selain perang (OMSP) yang tidak terkait kompetensi militer seperti menanggulangi ancaman siber, penanggulangan narkotika, prekursor, dan zat adiktif lain serta pembangunan nasional.
Upaya perluasan keterlibatan peran TNI di luar sektor pertahanan negara dengan dalih OMSP menurut Gufron semakin dipermudah lewat usulan revisi UU TNI itu. Misalnya, usul perubahan dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR.
“Jika usulan perubahan ini diadopsi, hal ini menjadi berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR,” urainya.
Dikatakan Gufron, TNI sejatinya adalah alat pertahanan untuk menjaga keutuhan NKRI. Sehingga, tidak ada alasan mendesak untuk banyak menempatkan prajurit aktif dalam institusi sipil.