Jakarta – Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian memberikan klarifikasi terkait pernyataannya yang menjadi sorotan publik. Pasalnya, di berbagai media massa Tito diberitakan mengatakan bahwa personel kepolisian yang gagal pilkada serentak 2018 bisa kembali lagi ke institusi Polri.
Mantan Kapolda Metro Jaya itu pun membantah isi sejumlah pemberitaan tersebut. Tito meluruskan bahwa personel polisi yang kalah di dalam pemungutan suara pilkada tidak boleh kembali lagi ke institusi Polri karena sudah pensiun dini.
“Itu kan yang saya sampaikan pada saat di Kemendagri. Itu adalah doorstop. Di doorstop itu, apa yang saya sampaikan dengan apa yang dituliskan, terutama di judul, ada beberapa media yang menulis judulnya salah, di dalamnya juga salah. Ada juga yang menulis judulnya salah, isinya ada benarnya dengan apa yang saya sampaikan,” kata Tito, Rabu (17/1/2018).
Lebih lanjut, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu mengaku judulnya yang di ekspos oleh beberapa media tidak tepat. “Saya enggak nyaman betul, judulnya, “Kapolri: Polisi yang kalah pilkada, seolah-olah setelah dia bertanding, setelah ditetapkan kalah, misalnya di bulan Juni/Juli, setelah itu dia ditarik ke polisi lagi, no!” Dia sudah pensiun pada Februari ketika penetapan. Begitu dia pensiun, dia tidak boleh kembali lagi ke polisi,” bebernya.
Berikut hasil wawancara khusus yang dilangsungkan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/1/2018) :
Q: Lantas, apa sebenarnya yang Bapak ingin utarakan saat itu?
A: Yang saya sampaikan saat itu adalah…ada pertanyaan, bagaimana dengan anggota-anggota Polri kalau seandainya mereka nanti kalah dalam pilkada, apakah boleh kembali ke polisi?
Nah yang saya sampaikan, mereka sekarang sudah mengajukan pensiun dini dan itu merupakan persyaratan untuk pencalonan.
Ingat, ada tahap pendaftaran, ada tahap penetapan, ada tahap kampanye dan lain-lain, tahapan intinya itu. Setelah itu ada pemungutan suara, ada penghitungan suara, lalu ada penetapan pemenang.
Di tahap pendaftaran, mereka wajib untuk membuat permintaan mengundurkan diri. Wajib karena itu jadi persyaratan dari KPUD. Saat itu dia belum pensiun, tapi sedang proses pensiun.
Nanti pada tahap penetapan pasangan calon, syarat-syaratnya dia diterima atau tidak, verifikasi, barulah ditetapkan lolos sebagai pasangan calon atau tidak lolos.
Kalau mereka yang sudah enggak lolos ingin kembali ke kepolisian artinya kan proses sedang berjalan nih pensiun dininya, bisa saja, tidak ada larangan untuk mereka kembali ke polisi, diterima, karena mereka belum pensiun. Proses pensiunnya bisa kita setop karena dia ingin mengabdikan diri.
Tapi itu pun kembali lagi kepada yang bersangkutan, mau enggak? Kalau dia memang mau lanjut pensiun dini, kita juga akan teruskan proses pensiun dininya. Tapi tidak ada larangan yang menyatakan Polri harus menolak mereka. Karena mereka memang belum pensiun. Baru proses.
Kemudian, kalau nanti sudah ditetapkan sebagai pasangan calon diterima dia untuk menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, Polri langsung mengeluarkan pensiun dini. Nah sudah pensiun dini, mereka bebas, Polri juga netral, dia sebagai orang biasa, bukan polisi lagi.
Kalau dalam pertandingan itu nanti, dalam pemungutan suara dan penetapan pemenang dia kalah, mau kembali ke polisi, ya enggak bisa karena dia sudah pensiun. Itu yang tolong dipahami.
Q: Bukankah seharusnya seorang polisi harus dinyatakan pensiun terlebih dahulu sebelum mendaftarkan diri sebagai pasangan calon kepala daerah di KPU?
A: Ada memang beberapa yang menyampaikan bahwa ada UU Pilkada menyatakan pensiun itu dilangsungkan setelah adanya penetapan pasangan calon. Itu di UU Pilkada. Sementara UU Polri menyatakan Polri tidak berpolitik ketika masih dinas.
Ada yang mengatakan pada waktu mencalonkan itu sudah berpolitik. Itu kan interpretasi mereka.
Kalau kami berpendapat bahwa waktu mencalonkan itu, namanya dia ingin, baru usaha, dia belum bermain politik. Ketika dia sudah ditetapkan sebagai pasangan calon, baru di situlah dia berpolitik praktis.
Q: Pasal 28 Ayat (1) UU Polri itu menyatakan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Bukankah mendaftarkan diri ke KPU itu adalah bentuk politik praktis?
A: Iya, iya itu kan pro kontra. Tapi kami kan punya pendapat sendiri. Orang boleh berpendapat lain, silakan saja namanya beda pendapat.
Karena di dalam bahasa (UU Polri) itu enggak tegas bahwa ketika mencalonkan diri, maka itu adalah politik praktis. Ketika mencalonkan, dia harus sudah dalam keadaan pensiun, enggak ada. Yang ada adalah proses dia mengajukan pensiun.
Bagi Polri, kita tidak menghalangi hak politik dari anggota. Tapi dia wajib untuk menyampaikan pengunduran diri.
Nah bagi Polri, kalau dia sudah ditetapkan sebagai pasangan calon, berarti dia memang sudah akan bertanding di politik praktis, kita pensiunkan dia.
Kalau dia nanti kalah dalam Pilkada bulan Juni nanti, dia mau masuk ke polisi, lagi ya enggak bisa, sudah pensiun. Karena di Februari (penetapan pasangan calon) dia sudah pensiun.
Kecuali kalau (dalam UU Polri) eksplisit dikatakan bahwa anggota TNI/Polri ketika mendaftarkan diri, sudah dalam keadaan pensiun. Itu baru jelas. Yang ada saat ini adalah dia harus mengajukan pensiun dan kami baru anggap politik praktis itu ketika sudah dimulai terjadi ketika dia ditetapkan sebagai pasangan calon.
Ke depannya kita kan apapun juga tidak perlu alergi dengan polisi. Ini juga kader bangsa juga. Sama banyak yang pintar, yang sekolah di luar negeri, pengalamannya Kapolda berkali-kali, kepemimpinannya bagus. Nah kader-kader ini jangan ditutup.
Seandainya mereka memang ingin mengabdikan dirinya sebagai kepala daerah/ wakil kepala daerah, tentu dia akan berhitung juga. Kalau seandainya saya belum diterima saja sudah harus pensiun, semua mungkin enggak ada yang mau lagi nantinya.