JAKARTA – Pengamat Politik Wempy Hadir menilai cuitan Novel Baswedan yang mengaitkan Presiden Jokowi dengan kasus yang dia alami adalah salah kaprah.
Sebelumnya, Novel Baswedan dalam cuitannya mengucapkan selamat kepada Presiden Jokowi. Adapun tulisan dalam cuitan Novel “Selamat Bapak Presiden @jokowi. Anda berhasil membuat pelaku kejahatan tetap bersembunyi, berkeliaran dan siap melakukannya lagi!” kata Novel lewat akun Twitternya @nazaqistsha, Jumat, 17 Juli 2020.
“Novel itu sudah salah kaprah, dia sudah tahu Jokowi tidak mempunyai kekuatan di ranah itu,” terang Wempy Hadir.
Karena, kata Wempy, kekuasaan itu harus dibagi, soal konsep trias politika, setiap lembaga negara punya kewenangannya masing-masing. Eksekutif sendiri, yudikatif sendiri, dan legislatif sendiri. Masing-masing lembaga itu eksekutif, legislatif, yudikatif, tidak bisa saling mengintervensi satu sama lain.
“Saya kira Novel itu terlalu berlebihan, dan dia terkesan politis dalam menilai. Bahwa dia memperjuangkan keadilan, saya kira masih ada jalur hukum, dia bisa melakukan proses hukum yang lebih tinggi kalau tidak puas atas tuntutan tersebut,” jelas Wempy lagi.
Kata Wempy, Novel mestinya paham konsep trias politika, masing-masing lembaga itu harus menghormati satu sama lainnya tidak saling mengintervensi. Dia melihat bahwa tidak ada intervensi kekuasaan dari Jokowi, ini murni proses hukum.
“Jadi saya melihat terlalu berlebihan juga Novel menyalahkan pemerintah, dalam hal ini Jokowi ya kan. Apa hubungannya Jokowi dengan kasus Novel ini? Tidak ada kan, tidak ada benang merahnya, begitu,” jelasnya.
Lebih lanjut, Wempy upaya Novel Baswedan menyebut nama Jokowi yang pertama adalah sudah salah kaprah, dan kedua dia ingin menarik Jokowi untuk terlibat dalam masalah ini, mengintervensi. Dia menerangkan jika Jokowi melakukan intervensi ya rusaklah soal konsep trias politika yang saling menghargai dan menghormati masing-masing lembaga negara.
“Saya kira Novel paham lah ya, soal kewenangan masing-masing lembaga, eksekutif seperti apa, yudikatif seperti apa, termasuk legislatif. Jadi jangan mencampuradukkan urusan itu. Kalau itu terjadi maka rusaklah bangsa ini karena saling mengintervensi. Saya kira sebagai penegak hukum juga Novel pasti paham bahwa tidak boleh ada intervensi daripada pihak-pihak lain yang diluar ranahnya,” paparnya.
Selain salah kaprah, upaya Novel menyeret-nyeret Jokowi adalah salah alamat dan sangat aneh. Jika publik melihat fenomena ini, dengan upaya Novel menyeret kasusnya keranah politik maka bisa berdampak pada simpati publik yang kian memudar kepadanya.
“Justru kembali ke Novel sendiri jika dia membuat statemen tersebut. Akhirnya simpati publik akan hilang, dia sudah masuk dalam ranah politis,” ucap Wempy.
Sementara itu, Pengamat Intelijen dan Keamanan Stanislaus Riyanta meminta agar Novel Baswedan fokus pada upaya banding atas sidang putusan kasus yang menimpanya. Tanpa perlu menarik-narik Presiden dalam kasus tersebut.
Kecuali, kata dia, jika memang mempunyai fakta tertentu sehingga menjadi alasan untuk menyinggung Presiden terkait vonis tersebut.
“Novel bukan orang awam, dia adalah orang yang mengabdikan dirinya untuk menegakkan hukum. Novel Baswedan tentu paham bahwa vonis pelaku penyiraman diputuskan oleh hakim berdasarkan fakta-fakta persidangan. Untuk itu sebaiknya Novel Baswedan fokus untuk upaya banding, tidak perlu menarik-narik Presiden dalam kasus ini,” tegas Stanislaus Riyanta.
Stanislaus kembali menekankan jika vonis (putusan) terhadap pelaku penyiraman air keras terhadap dirinya terlalu rendah maka sebaiknya Novel Baswedan bisa menggunakannya untuk banding.
“Sebaiknya Novel menggunakan haknya untuk banding,” sebutnya.
Pengamat Politik Karyono Wibowo juga ikut memberikan kritkan kepada Novel Baswedan. Novel Baswedan yang notabene penegak hukum namun sering kali offside bermain diwilayah isu politik. Seperti saat Pilkada DKI 2017, kemudian Pilpres 2019.
“Cuitan-cuitannya, pernyataan-pernyataan politis, ini yang buat publik akhirnya bertanya-tanya juga ‘Novel Baswedan ini politisi atau penegak hukum’, sebaiknya dia fokus saja pada persoalan- persoalan hukum. Boleh juga dia mengkritik tapi soal masalah hukum,” bebernya.
Dalam kesempatan yang sama, Aktivis Gugat Novel (AGN) Bayu Sasongko menilai tudingan Novel Baswedan bahwa sidang kasus penyiraman adalah sidang sandiwara bisa dijerat dalam Pasal 207 KUHP. Yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
“Segala perbuatan tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan, sikap-sikap tersebut dapat dikategorikan dan dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap lembaga peradilan atau Contempt of Court,” jelas Bayu.
Menurut Bayu, Novel sedang melakukan aksi acting sandiwaranya ala Drama Korea (Drakor) dengan menciptakan isu barunya pasca putusan kasus yang menimpanya. Hal itu dia lakukan untuk mengalihkan perhatian publik agar bisa menutupi kasus dugaan penganiayaan dan penembakan pejuang keadilan korban sarang burung walet.
“Novel Baswedan piawai dalam bersandiwara dan sesuai prediksi kami bahwa Novel kembali bermanuver menyalahkan jalannya persidangan, terus salahin Jokowi. Dan itu dilakukan Novel saat ini,” sebutnya.
Ditempat yang sama, Ketua Umum Gerakan Muda Mahasiswa Islam (GMMI) Ali Akbar mengatakan daripada Novel Baswedan sibuk menyalahkan lembaga peradilan lalu Presiden Jokowi, sebaiknya Novel mengakui kesalahannya atas kasus sarang burung walet.
“Novel Baswedan harus diadili karena sudah melanggar HAM dan kemudian diproses berdasarkan prinsip hukum yang ada di Indonesia,” pungkasnya.