Oleh : Ayik Heriansyah
Panji Gumilang (PG) menjadi tersangka kasus penistaan agama ditahan di rumah tahanan Bareskrim Mabes Polri pada hari Rabu (2/8). Sehari sebelumnya, Rocky Gerung (RG) untuk kesekian kalinya dilaporkan ke polisi atas kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi oleh masyarakat Kota Bekasi pada hari Selasa (1/8).
Menistakan agama dan menistakan Presiden pada hakikatnya sama-sama perbuatan nista. Perbuatan yang amoral, tidak berakhlak dan niradab. Dalam konteks ini pelakunya, PJ dan RG, telah mendapat hukuman dari masyarakat berupa ketidaksukaan, celaan dan cemoohan.
Dari persepktif hukum pun keduanya melanggar hukum namun memiliki delik dan konsekuensi hukum yang berbeda. Menistakan agama termasuk delik keagamaan demi menjaga marwah agama dan Tuhan dari penghinaan. Polisi butuh keterangan dari ahli-ahli agama sebelum menetapkan tersangka.
Sedangkan menistakan Presiden termasuk delik aduan. Kedudukan Presiden dipandang sebagai individu warga negara. Karenanya, Presiden harus mengadu dulu ke polisi agar supaya penistaan terhadap dirinya dapat diproses hukum.
Penistaan terhadap dirinya bagi Presiden terlalu kecil untuk diperhatikan. Ada hal yang lebih besar dan penting, yakni membangun Indonesia. Istilah Pak Jokowi, “Kerja, kerja…” Baik, kita hormati saja. Itu hak Beliau untuk tidak mengadu ke polisi atas penistaan terhadap dirinya.
Dengan demikian, Presiden telah menunjukkan kelasnya sebagai negarawan yang lebih mementingkan urusan bangsa dan negara ketimbang masalah pribadi. Secara implisit Pak Jokowi telah memaafkan warga negaranya yang nakal. Berlapang dada terhadap tingkah polah mereka atas nama demokrasi dan oposisi.
Padahal berdemokrasi dan beroposisi di negara kita harus berdasarkan Pancasila. Berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, keadaban, persatuan, permusyarakatan dan kerakyatan.
Berdemokrasi dan beroposisi bebas nilai tanpa batas akan menjerumuskan kelompok oposisi kepada menistakan diri sendiri berupa perbuatan menistakan orang lain.
Asumsi dasar dan utama dari menistakan orang lain adalah menganggap dan merasa diri sendiri lebih agung, bernilai, hebat, mulia, penting dan terhormat dibandingkan orang lain. Dalam khazanah tasawuf disebut ujub dan takabur. Sifat yang menjatuhkan iblis ke posisi senista-nistanya makhluk.
Ada baiknya bagi kita, kaum aposisi maupun kelompok oposisi, merenungi salah satu perkataan hikmah dari Syaikh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, “Wacana yang terucap, maka padanya ada pakaian qalbu, yang muncul dari qalbu itu.” Ucapan mencerminkan isi hati. Ucapan yang bagus, baik dan terpuji lahir dari hati yang baik, bagus dan terpuji. Sebaliknya, ujaran kebencian, caci maki, mengumpat dan mencela timbul dari hati-hati yang nista lagi hina.