Jakarta, 17 Juli 2025 – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE), yang diajukan oleh tiga organisasi masyarakat sipil serta satu perwakilan masyarakat adat. Keputusan ini dinilai sebagai kemunduran serius dalam pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan komunitas lokal, khususnya dalam konservasi berbasis pengetahuan tradisional dan kearifan lokal.
Permohonan pengujian tersebut terdaftar dengan Nomor Perkara 132/PUU-XXII/2024 dan diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), serta Mikael Ane, anggota Masyarakat Adat Ngkiong, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang pernah mengalami kriminalisasi.
Proses Legislasi Dinilai Tertutup dan Minim Transparansi
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dari total 22 rapat pembahasan UU KSDAHE di tingkat legislatif, hanya empat rapat yang dilakukan secara terbuka, sementara sisanya dilaksanakan secara tertutup, termasuk rapat Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi. MK berpendapat bahwa keterbukaan tetap terjaga karena masyarakat dapat mengakses catatan rapat, meski hanya sebagian.
Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Konservasi Berkeadilan menemukan fakta sebaliknya: sebanyak 20 dokumen proses rapat tidak dapat diakses publik, sehingga partisipasi masyarakat tidak berlangsung secara penuh dan bermakna.
Desakan untuk Legislasi yang Inklusif dan Demokratis
Koalisi masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, serta akademisi menilai putusan MK ini sebagai preseden buruk yang mengesampingkan prinsip meaningful participation. Mereka menegaskan bahwa pelibatan masyarakat adat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tidak cukup jika dokumen-dokumen penting dan informasi substansial tidak dibuka secara transparan.
“Kami menghargai putusan MK, tetapi pelibatan masyarakat adat dalam pembentukan UU ini tidak mencerminkan partisipasi yang bermakna. Dokumen sulit diakses dan banyak pasal bermasalah tidak dijelaskan dengan memadai,” tegas Cindy Julianty, Eksekutif Koordinator Working Group ICCAs Indonesia.
Hal senada diungkapkan Syamsul Alam Agus, S.H., kuasa hukum para pemohon. “Putusan ini paradoksal. Di satu sisi permohonan ditolak, tetapi di sisi lain MK menyarankan agar pembentuk undang-undang ke depan memaksimalkan partisipasi publik menggunakan teknologi informasi.”
“Legal Tapi Tidak Legitimate” di Mata Masyarakat Adat
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa ketidakterlibatan masyarakat adat secara penuh dalam proses legislasi membuat UU KSDAHE kehilangan legitimasi.
“Undang-Undang ini boleh saja legal di mata negara, tetapi tidak legitimate bagi masyarakat adat. Prosesnya tertutup dan masukan kami diabaikan,” ujarnya.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, menambahkan bahwa pembentukan UU ini melanjutkan pola pembentukan regulasi yang mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi penuh masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dua Hakim MK Ajukan Dissenting Opinion
Menariknya, dua Hakim Konstitusi, yaitu Suhartoyo dan Saldi Isra, menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Keduanya menilai proses pembahasan UU dilakukan secara tertutup tanpa alasan yang jelas, yang bertentangan dengan asas keterbukaan dalam pembentukan perundang-undangan.
Menurut mereka, hal ini menyebabkan tidak terwujudnya partisipasi publik yang bermakna dan seharusnya cukup menjadi dasar untuk menyatakan UU tersebut cacat formil. Mereka berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi seharusnya mengabulkan permohonan pemohon, setidaknya untuk sebagian.