Jakarta — Ancaman paparan radikalisme dan kekerasan terhadap anak kembali menjadi perhatian serius setelah sejumlah kasus terbaru yang melibatkan pelajar terungkap. Dalam sebuah forum resmi, Densus 88 Antiteror Polri dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memaparkan kondisi mutakhir mengenai kerentanan anak terhadap pengaruh radikalisme, kekerasan, serta tekanan psikologis akibat bully.
Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) terkait Dampak Bullying terhadap Penyebaran Paham Ekstremisme dan Radikalisme di kalangan pelajar ini diikuti oleh sejumlah guru dan perwakilan siswa dari beberapa sekolah, diantaranya SMKN 4 Kota Tangerang, SMKN 2 Kota Tangerang, SMK Yuppentek, SMAN 70 Jakarta Selatan dan SMPN 19 Tangerang Selatan, hari Kamis, 27 November 2025 di Jakarta.
Diharapkan kegiatan FGD ini mampu membangun pemahaman komprehensif serta mendorong kolaborasi aktif seluruh pemangku kepentingan, sehingga tercipta lingkungan sekolah yang aman, nyaman, dan bebas dari ancaman maupun tindakan berbahaya.
Kasubdit sidik 1 Ditsidik Densus 88 AT, KBP Sri Astuti Ningsih, menjelaskan bahwa tindakan pengamanan yang dilakukan aparat tidak hanya bertujuan menegakkan hukum, tetapi juga sebagai langkah pencegahan agar anak-anak dan remaja tidak terlibat dalam aksi teror.
“Pengamanan kami dilakukan dalam upaya pencegahan supaya mereka tidak melakukan aksi,” ujarnya.
Ia menyampaikan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 mudah dipahami, namun memahami pola terorisme saat ini tidak sederhana, terlebih karena “gen z sekarang sangat sulit ditebak.”
Sri Astuti menegaskan pentingnya pemulihan terhadap anak-anak yang sudah terpapar radikalisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Menurutnya, aspek hukum dalam perkara terorisme sudah jelas, tetapi tantangan terbesar justru terletak pada deteksi dini.
“Yang sulit adalah bagaimana kita mendeteksi sejak awal,” katanya.
Ia juga menyinggung fenomena di SMA Negeri 72 Jakarta sebagai contoh nyata betapa motif ekstremisme dapat muncul dalam bentuk sikap anarkis dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang menimbulkan rasa takut di masyarakat.
Dalam pemaparannya, Sri Astuti mengungkap perkembangan terbaru penegakan hukum. Densus 88 telah menangkap lima tersangka yang menyebarkan konten bermuatan radikalisme dan ekstremisme dengan target utama anak-anak.
“Ada 110 anak di 23 provinsi yang terpapar radikalisme atau ekstremisme,” ujarnya.
Ia menyebutkan bahwa sejumlah anak bahkan telah berbaiat kepada pimpinan kelompok radikal tertentu, melakukan uji coba bom, berdiskusi mengenai senjata, hingga merencanakan penyerangan terhadap kantor TNI-Polri dan kelompok masyarakat tertentu.
Aktivitas simulasi kekerasan melalui game perang online seperti Roblox bahkan digunakan sebagai media i’dad atau persiapan, dengan membuat skenario sebagai pelaku teror yang menyerang aparat dan fasilitas pemerintah.
Untuk upaya pemulihan, Densus 88 melakukan konseling psikologis dan pendampingan rohani secara intensif bagi anak-anak yang terlibat.
Ketua KPAI, Hj. Margaret Aliyatul Maimunah, dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa banyak anak yang kini membutuhkan perhatian khusus karena sudah terlibat atau terpapar paham radikalisme dan ekstremisme.
“Mereka mempunyai pola pikir yang hilang dan bahkan sudah ada yang melakukan tindakan kekerasan,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa masa perkembangan anak sangat rentan terhadap pengaruh negatif, terutama karena mereka juga berada di lingkungan yang rawan kekerasan. Menurutnya, rumah yang semestinya menjadi tempat aman justru sering menjadi lokasi berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Margaret juga menyoroti kondisi di sekolah, tempat anak-anak seharusnya mendapatkan perlindungan, namun tetap rentan mengalami bully, kekerasan seksual, dan kejahatan berbasis siber. Ia mengungkapkan data mencengangkan sepanjang tahun 2025.
“Sudah ada sekitar 25 anak yang memilih bunuh diri karena mengalami bully,” ungkapnya.
Ia juga menyinggung kasus seorang anak yang membakar pesantren karena menjadi korban perundungan, serta kasus di SMA 17 dan SMA 72 yang menunjukkan adanya indikasi bully sebagai faktor pemicu tindakan ekstrem.
Dampak psikologis pada korban bully menurut Margaret sangat berat. “Mereka merasa tidak punya masa depan dan mengalami depresi berlebihan,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa anak korban bully memiliki kerentanan psikologis, seperti depresi, kecemasan, perasaan tidak dihargai, hingga merasa dikucilkan secara sosial. Pada akhir pemaparannya, Margaret menegaskan bahwa perlindungan anak harus dijalankan secara menyeluruh.
“Perlindungan anak adalah kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” tutupnya.





