Tangerang – Jaringan Aktivis Reformasi 98 (Jari 98) menggelar diskusi bertajuk “Refleksi dan Renungan Akhir Tahun 2017 bersama 1000 Aktivis.” Refleksi akhir tahun itu digelar di Ruko Vicktoria Nomor 3 BSD, Jalan Raya Buaran Ciater, Serpong, Tangerang Selatan, 31 Desember 2017 mulai pukul 22.00 WIB hingga masuk pergantian tahun 2018.
Ketua Presidium Jari 98 Willy Prakarsa mengatakan refleksi akhir tahun dilakukan guna memperkuat tali silaturahmi serta untuk menyamakan visi misi demi kemajuan bangsa.
“Kami ingin memperkuat silaturahmi untuk kemajuan bangsa,” kata Willy, Minggu, 31 Desember 2017.
Selain itu, kata Willy, refleksi akhir tahun tersebut merupakan salah satu bentuk kontrol sosial terhadap negara, khususnya dalam rangka menegakkan supremasi hukum dan Undang-Undang 1945.
Dalam acara itu tampak hadir ribuan mantan aktivis gerakan reformasi 1998 yang tergabung dalam Jari 98. Beberapa aktivis pun menyampaikan orasi-orasi berisi kritik terhadap pemerintahan saat ini dan harapan untuk pemerintahan di tahun mendatang.
Menurut Willy selain permasalahan ekonomi, Indonesia juga sedang didera ancaman intoleransi dan radikalisme. Permasalahan tersebut, kata Willy, tidak cukup diselesaikan hanya dengan penegakan hukum namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan pendidikan.
“Agar tidak muncul paham berani mati karena takut hidup. Itu ideologi maut namanya,” kata dia.
Willy melanjutkan, pihaknya juga tak ingin bangsa Indonesia ini sadar dan tak terkotak-kotak dalam jebakan intelijen asing yang menyesatkan dengan mengadu domba antar rakyat.
“Indonesia tidak mampu bangkit satu suara saja melainkan harus bersama-sama untuk memajukan bangsa. Kasihan Presiden sudah jungkir balik memberi contoh tentang bagaimana membangun mental tangguh dengan prinsip kerja-kerja, kok malah rakyatnya terkotak-kotak dan terpecah belah saling sindir,” sebutnya.
Willy pun mengajak semua pihak untuk berperan aktif menyadarkan masyarakat untuk tidak membuat gaduh di medsos karena dia mengakui di tahun 2017 ini memang penuh gejolak. Kendati demikian, kata dia, pemerintahan Jokowi sudah berusaha keras membangun infrastruktur yang sudah mendapatkan progress positif.
“Rasa optimis terbangun jika masyarakat optimis mendukung niat baik pemimpin. Jika tidak ada kepercayaan terhadap pemimpin dan penguasa maka akan sia-sia saja berharap negara akan maju dan bisa mengejar ketertinggalan teknologi dengan negara lain,” bebernya.
Lebih jauh, Willy berharap pada kaum muda yang mempunyai visi jauh ke depan untuk membangun bangsa, bukan mereka yang terlalu sibuk nyinyir di media sosial mengolok-olok pemerintah dan hobi debat kusir tentang ideologi dan agama atau lainnya.
“Indonesia butuh kedamaian tidak koar-koar dimedsos dan nyinyir saja,” kata dia lagi.
Willy pun memandang di Tahun 2018 ini akan bertambah seru karena sejumlah daerah (171 daerah serentak menggelar pemilu pada tanggal 27 Juni 2018) secara serentak akan memilih pemimpinnya dan sudah pemanasan Pilpres 2019.
“Sebentar lagi tahun politik, kami yakin tensinya semakin tinggi. Lebih-lebih dari Pilkada DKI Jakarta. Kasihan rakyat jika dijadikan alat komoditas politik,” katanya.
“Jangan ada lagi simpan luka lama, aksi “Nyinyir” dan balas dendam tidak baik. Masyarakat harus belajar sportif dan legowo. Sudahi dan kembali bersatu. Jangan sampai isu yang dimainkan orang yang tak bertanggung jawab bisa jadi senjata makan tuan,” tandasnya.