Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 bisa disebutkan cikal bakal terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini. Meskipun jauh sebelum itu, Pada zaman Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan. Hal ini yang mendasari sosok Gajah Mada dijadikan simbol Kepolisian Republik Indonesia sebagai penghormatan. , Polri membangun patung Gajah Mada di depan Kantor Mabes Polri dan nama Bhayangkara dijadikan sebagai nama pasukan Kepolisian.
Pada masa Hindia Belanda, Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (Jaksa agung). Hindia Belanda membentuk berbagai macam kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Hindia Belanda tidak memperkenankan pribumi menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi.
Pada masa Jepang wiliyah kepolisian Indonesia dibagi menjadi Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukittinggi, Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktik lebih berkuasa dari kepala polisi.
Pada tanggal 21 Agustus 1945 Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia. sebagai langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang. Sebelumnya pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN).
Pada awal Kemerdekaan kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Kemudian mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Tanggal 1 Juli inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini.
Era Reformasi mengantarkan perubahan yang signifikan pada posisi dan peran Kepolisian republik Indonesia (Polri). Berbagai wacana dan pemikiran mengenai reformasi Polri terus berkembang baik dari aspek struktural kultural maupun instrumental Beberapa di antaranya adalah pemisahan Polri dari TNI, perubahan doktrin Polri, pembentukan Kompolnas dan sebagainya. Ini ditandai dengan keputusan politik berupa pemisahan Polri dari lembaga dan garis komando TNI pada 1 April 1999 yang diikuti dengan munculnya dua Ketetapan (Tap) MPR-RI, yakni Tap MPR/VI/2000 tentang pemisahan ABRI (TNI dan Polri) serta Tap MPR/VII/2000 tentang peran kedua lembaga tersebut.Peran dan kedudukan Polri telah diatur dalam Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peran Polri saat ini menjadi sangat penting karena berhubungan dengan iklim demokrasi yang ingin dibangun di era reformasi. Polisi di satu sisi harus mewujudkan tujuan sosial yaitu ketertiban masyarakat yang menuntut polisi harus menggunakan instrument Sosial/doelmatigheid, di sisi lain polisi harus mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan/justice yang menuntut Polisi harus menggunakan instrument hukum /rechmatigheid.
Kondisi kebangsaan yang terjadi sepuluh tahun terakhir sangatlah memerlukan kesiapan fisik dan mental (profesionalisme) dari aparat Polri untuk menanggulangi segala bentuk potensi gangguan atau ancaman perpecahan bangsa. Isu SARA diolah bersamaan dengan isu ideologi adalah isu yang sangat sensitive bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik.
Eksistensi Polri terlihat “naik kelas” dalam penanganan isu tersebut, selain tugas penegakan hukum (kriminalitas), Polri tampak berjibaku membentengi segala bentuk gangguan yang merongrong NKRI, Pancasila dan Negara bersamaan saat proses Pemilu dan Pilpres 2019. Upaya menjaga demokrasi, kedaulatan bangsa, melindungi bangsa dari perpecahan dan atau radikalisme, dilakukan dengan teknik dan pola yang sederhana, cerdik dan tepat manfaat. Kontra opini masyarakat “menolak kerusuhan,” “melawan radikalisme” diwarnai maraknya spanduk dan baliho di seluruh Indonesia.
Polri makin piawai membentengi dan menanggulangi badai isu social politik yang menggerus isu nasionalisme kebangsaan dan upaya kelompok tertentu mendelegitimasi peran pemerintah, dan idiologi Pancasila. Bahkan “fitnah” politik, bahwa negara ini mengarah kepada toghut dan kekafiran karena tidak menjalankan aturan agama, Negara telah berfaham komunis, memusuhi Ulama dan atau anti agama.
Perlahan tapi pasti, eksistensi Kepolisian kita saat ini makin kokoh memayungi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tugas pokok Polri sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2002 pasal 13, sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, dan pemberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Tidak saja sebagai crime hunter, tetapi sebagai pelindung dan penjaga bangsa dari ancaman perpecahan atau konflik horizontal.Pengungkapan kasus Curanmor, Curas, atau suatu kasus pidana adalah tugas pokok kasus kriminal murni yang tidak berdampak kepada stabilitas Negara, ada Konsentrasi lain yaitu isu-isu idiologi, politik, ekonomi dan sosial yang harus di deteksi dan dicegah secara dini oleh Polri, untuk tidak menimbulkan aksi masa instabilitas yang merusak keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Polri saat ini telah mengalami perubahan mainsed dan karakter oprasional, bahwa tugas Penegakan hukum (revresif justisiil) hanyalah bagian dari tugas besar Polri secara menyeluruh. Ada tugas lain yang tidak kalah “penting” dalam kehidupan berbangsa bernegara. Yakni, menjaga dan memelihara stabilitas Keamanan dalam negeri dengan pola preventif, persuasive, edukatif dan lain sebagainya. Mesti ada azas keseimbangan antara tugas penegakan hukum dengan memelihara Kamtibmas, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Membangun profesionalisme tidak hanya meningkatkan SDM bersifat teknis penegakan hukum, namun juga bersifat kemampuan perorangan (Inter personal skill) dalam berbagai pengetahuan dan wawasan, sesuai tuntutan tugas kekinian yang dihadapi dalam masyarakat yang terus berkembang.oleh karena itu dalam proses demokratisasi ini polisi harus bertindak adil, netral dan tidak ada keberpihakan terhadap kepentingan tertentu, agar dapat berperan dan berfungsi sebagai pilar demokrasi yaitu penjaga dan pemelihara nilai-nilai sipil dalam kehidupan masyarakat.
Harapan ini bertumpu pada keyakinan bahwa pada kehidupan masyarakat demokratis, ”hukum” pada hakekatnya adalah consensus egaliter segenap elemen masyarakat. Dan sesuai dengan paradigma baru Polri yaitu, ”Polisi beserta seluruh elemen masyarakat yang patuh hukum dan mengeliminir akar-akar kejahatan dan ketidaktertiban”. Dalam melaksanakan perannya Polri menerapkan model/pola pemolisian sipil untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dalam rangka menciptakan rasa aman, memelihara stabilitas kamtibmas, guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang dilakukan secara proaktif, problem solving dengan membangun kemitraan dengan warga masyarakat (partnership). Dalam kerangka “Polisi Sipil”, Polri diharapkan dapat menempatkan diri secara profesional kapan ia harus bertindak sebagai “a strong hand of society” dan kapan harus bertindak dengan karakter “a soft hand of society” dalam melaksanakan tujuan mewujudkan kamtibmas yang kondusif.
Dalam usia yang ke 74 harapan masyarakat Polri benar-benar makin sigap dalam menjaga keutuhan bangsa dari potensi disintegrasi selain mampu keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. DIRGAHAYU POLRI KE 74 SEMOGA SEMOGA SESUAI DENGAN MOTO “RASTRA SEWAKOTAMA”
KH. Luthfi Fauzi