JAKARTA – Pro dan Kontra yang berlangsung selama beberapa waktu atas jalannya hukum acara terhadap para pelaku penyiraman penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Novel Baswedan, telah berakhir dengan putusan hakim yang menjatuhi hukuman 2 tahun penjara kepada Rahmat Kadir Mahulette dan 1 tahun 6 bulan kepada Ronny Bugis.
Putusan hakim pengadilan negeri Jakarta Barat menunjukkan bahwa terdakwa Rahmat dan Ronny terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal subsider 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Lebih subsider pasal 351 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ditambah lagi dengan fakta-fakta persidangan yang semakin memperkuat keyakinan majelis hakim bahwa para pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Novel Baswedan jelas bersalah.
Menurut pengamat hukum politik, Bambang Saputra, artinya putusan hakim ini juga dengan sendirinya menafikan tudingan atas adanya penghilangan barang bukti yang ditujukan kepada pihak reskrim khususnya kepada dirreskrimum Kombes Pol. Rudy Heryanto Adi Nugroho, S.H., M.H. ketika masih proses penyidikan di Mapolda Metro Jaya tahun 2017 lalu.
“Atas sebagian opini publik yang berkembang belakangan ini akhirnya polisi seakan menjadi serba salah. Padahal mereka telah bekerja secara professional, sesuai prosedural dan mengikuti aturan hukum yang berlaku. Bagaimana tidak? Buktinya mereka dapat meringkus para pelakunya yang juga masih anggota polisi. Kemudian memprosesnya secara hukum hingga sampai ke meja hijau,” terang Bambang dalam keterangan yang diterima wartawan, Sabtu (19/7).
Kemudian sambung Bambang, mengenai adanya tudingan penghilangan barang bukti terhadap perkara tersebut. Mana mungkin perkaranya dapat dinyatakan lengkap (P21) dan bisa disidangkan andai alat buktinya tidak ada.
Hal ini agaknya sakral, Polri pun tampaknya sudah sangat berhati-hati dalam bekerja, sehingga mengawal jalannya perkara ini sampai ke persidangan di pengadilan. Bahkan Irjen. Pol. Dr. Rudy Heryanto Adi Nugroho, S.H., M.H. yang sekarang menjabat sebagai Kadivkum Mabes Polri pun terjun ke persidangan.
“Namun namanya pemikiran orang ya ada saja, asumsi kan pasti berbeda-beda. Demikian pula dengan munculnya penafsiran hukum di luar sana pasti berbeda-beda, wong beda kepentingan. Apalagi kalau sampai diseret ke ranah politis, tentu akan menimbulkan kegaduhan publik yang luar biasa,” beber cendekiawan muda tersebut.
Logika yang perlu digarisbawahi adalah apakah salah jika seorang yang dulunya dalam jabatan mengerti terhadap seluk-beluk perkara ini, dan sekarang posisinya menjabat pula sebagai Kadivkum Polri turut hadir di persidangan. “Silakan berpikir yang logis dan realistis,” pungkasnya. (*)