Surabaya – Dalam menghadapi tahun pemilihan umum, umat Kristiani dihadapkan pada kenyataan munculnya kembali narasi perpecahan dan tantangan terhadap Kebhinekaan, dengan kenyataan diatas ditambah dengan hoaks dan berita penuh sensasi menyebabkan terjadinya dinamika demokrasi yang tidak baik dalam masyarakat. Karena pemilu bukan lagi pertarungan Ide namun pertarungan identitas, kelompok mana yang menang dan kelompok mana yang kalah.
Hal ini tidak sesuai dengan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila yang senantiasa menjunjung tinggi gotong royong dalam perbedaan sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika. Umat Kristen sebagai bagian yang sedikit bagi bangsa Ini tentunya prihatin menghadapi fenomena ini. Namun terkadang perbedaan denominasi dan gerakan yang masih bersifat sporadis membuat umat Kristiani bingung mengenai langkah yang perlu ditempuh dalam menghadapi perpecahan sekaligus menyatukan gerakan Kristiani berdasarkan Pancasila demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini.
Berdasarkan keprihatinan inilah, Yayasan Terang Bagi Sejahtera Bangsa bersama segenap unsur masyarakat Kristiani di Surabaya dan sekitarnya mengadakan Diskusi Publik bertema Warganegara yang Ber-Pancasila. Dengan harapan para peserta dan unsur masyarakat Kristiani sadar dan mengerti perannya dalam masyarakat. Serta senantiasa menanamkan Pancasila dalam setiap perkataan dan perbuatan, khususnya dalam menghadapi pemilu.
Acara yang diselenggarakan pada Jumat 28 Juli 2023 di Bon Café Surabaya ini mengetengahkan staff khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Dr. Antonius Benny Susetyo sebagai pembicara.
Dalam sambutan pembukaan, Ibu Tina Agung Purnomo, Ketua Yayasan Terang Bagi Sejahtera Bangsa menyatakan bahwa masyarakat Kristiani dan Gereja tidak bisa memungkiri bahwa kita semua masih ada di dalam dunia dan segala dinamikanya.
“Oleh karena itu suka atau tidak kita harus menyadari posisi kita sebagai bagian dari masyarakat dan negara, dengan benar-benar memahami posisi kita dan dengan benar benar mengamalkan Pancasila dalam setiap kata dan perbuatan. Dengan menjalankan kedua hal tersebut, selanjutnya hendaknya kita dapat dengan proaktif berperan dalam masyarakat untuk menjadi penetralisir narasi perpecahan, politik identitas dan berita bohong yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam menjelang pemilu hingga persatuan dan Kesatuan dalam kebhinekaan dapat benar benar terjaga.” tegasnya.
Dalam kesempatan selanjutnya, Staff Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo menyatakan bahwa pemilu adalah bukti bahwa demokrasi Pancasila menjunjung tinggi hak tiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
“Setiap warganegara dipersilahkan menyampaikan Aspirasi dengan memilih siapa orang yang akan menahkodai, tidak hanya individu dan kelompok Identitas namun seluruh bangsa Indonesia. Karena itu hendaknya kita tidak terjebak dalam romantisme masa lalu, hoaks maupun narasi negatif yang berujung perpecahan.” jelas Benny.
Dalam perjalanannya, Benny menegaskan agar kita harus sadar bahwa walau Pemilu sebagai sarana Demokrasi yang ideal dan benar – benar adil, kita harus berpegang bahwa setiap gerak kita sebagai umat Kristiani, juga sebagai warga negara agar menentukan nasib kita untuk lima tahun kedepan.
“Kita perlu mulai bisa memperhatikan para calon pemimpin dengan melihat rekam jejak, kestabilan psikologis dan kemampuan mereka dalam berdiri bersama rakyat dan pemilih. Kita harus bisa melihat pemimpin mana yang memiliki keutamaan yaitu mereka yang menghormati keberagaman, hak asasi manusia dan peduli pada mereka yang terpinggirkan.” tandas Benny.
Lebih lanjut, pada acara yang diselenggarakan di Boncafe, Gubeng Itu Benny menyatakan bahwa Pada kenyataan di lapangan, pemilu yang benar benar Jujur dan adil adalah suatu hal yang utopis.
“Di lapangan, kita menghadapi kenyataan bahwa ongkos pemilu yang mahal menjadikan hal yang seharusnya menjadi perayaan dan penghormatan terhadap demokrasi ini menjadi hal yang penuh intrik, dinamika dan transaksi. Oleh karena itu pada akhirnya kita harus kembali pada pandangan Romo Magnis tentang Minus Mallum atau Lesser Evil yang menyatakan bahwa kita harus memilih mereka yang dosanya paling sedikit dan karenanya kita harus meneliti dengan baik dan objektif mengenai siapa yang kita pilih terkait rekam jejak dan program yang ditawarkan.” tegas Benny.
Benny menghimbau agar kita bukan lagi terjebak pada romantisme masa lalu atau lebih buruk lagi, politik identitas.
“Suka atau tidak, kita harus menyadari dalam era digital ini, sifat buruk bangsa Indonesia benar-benar tergali, kita tak sadar menjadi pribadi yang melodramatis. Mudah terjebak pada romantisme dan masa keemasan masa lalu serta menjadi mereka yang bersumbu pendek, yakni mereka yang menjadi komunitas pengiya kata yang membagikan hal dan Informasi tanpa menyaringnya terlebih dahulu.” beber Benny.
Ia mengharapkan setiap umat Kristiani khususnya para peserta diskusi publik dapat selalu menjadi agen perubahan, agen demokrasi dan agen pengedukasi dalam upaya penjaga pemilu yang berkualitas.
Lebih lanjut, Doktor Komunikasi Politik itu menyatakan bahwa para pemilih potensial adalah generasi Z. Mereka dan segala keunikannya merupakan potensi besar dalam pemilu.
“Bukan hanya sekedar sebagai pemilih mereka dengan talenta berteknologi dan bermedia sosial, mampu membuat konten-konten segar yang suka atau tidak sangat efektif dalam penyampaian pesan dan informasi khususnya terkait pemilu dan pesta demokrasi. Karenanya kita harus merangkul mereka dan membuat mereka mengerti bahwa martabat tidak bisa direduksi dengan uang dan identitas.” lanjutnya.
Benny juga menjelaskan bahwa menjadi bermartabat berarti mereka benar-benar bisa memilih atas dasar pikiran sehat dan terhormat. Mereka memilih berdasarkan kenyataan bahwa demokrasi tidak memberi jaminan kesejahteraan namun memberi jaminan mengenai kemanusiaan, kehormatan dan kesempatan.
Dalam kesempatan ini, Benny juga menyatakan bahwa umat kristiani khususnya para peserta Diskusi Publik ini diharapkan menjadi agen perubahan dalam upaya menggaungkan Pemilu Cerdas yang dapat memberikan contoh dan edukasi politik kepada masyarakat di sekitarnya.
“Para peserta Diskusi Publik ini dapat memulai dari keluarga, komunitas hingga gereja untuk memberikan informasi bagaimana cara memilih pemimpin. Misalnya dengan metode analisa kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) pada setiap calon-calon pemimpin yang akan dipilih hingga benar-benar didapatkan pemimpin yang benar-benar efektif dan mampu bekerja sesuai ekspektasi masyarakat.” ungkapnya.
Staff Khusus dari badan yang dikepalai Profesor Yudian Wahyudi ini mengakhiri paparannya dengan menyatakan bahwa “Sudah waktunya kaum Kristiani bergerak untuk mengambil peranan dalam proses berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai kristalisasi budaya-budaya luhur bangsa dan nilai-nilai keagamaan, hendaknya benar-benar dilaksanakan tidak hanya secara teori namun juga dalam perbuatan, yaitu menjaga persatuan dalam keberagaman. Sudah waktunya umat Kristiani menjadi agen perubahan khususnya dalam menghadapi Pesta Demokrasi dengan senantiasa menggaungkan bagaimana pemilu cerdas kepada masyarakat sekitar. Karena pada akhirmya berkualitas atau tidaknya suatu pemilihan umum tergantung kepada masyarakatnya, jika masyarakat berkualitas maka hasil Pemilu akan berkualitas.”
“Karenanya kita tidak boleh menjadi reaktif dan pesimis, pemilu adalah panggilan kita semua untuk melaksanakan tugas mulia mencapai cita-cita kemerdekaan, walau upaya tersebut tidak dapat diraih dengan singkat namun kita harus jaga agar tetap berlangsung dengan damai dan berkualitas.” ujarnya dalam acara yang dihadiri oleh Ronny H Mustamu dari Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia, Marina Elisa L. Founder Wish Women Indonesia, Pendeta Samuel dari Persekutuan Gereja Gereja di Indonesia Wilayah Jawa Timur serta tokoh tokoh serta anggota gereja dan Komunitas Kristen di Wilayah Kota Surabaya.