Tanjung Selor – Pondok Pesantren Darul Yaqin Temboro melaksanakan kegiatan majelis bersama dengan pengurus pondok, santri dan warga sekitar Tanjung Rumbia.
Ustadz Gufron selaku penceramah menyampaikan tema tausiah “Menangkal Radikalisme Dengan Wasathiyatul Islam”.
“Kita ketahui bersama bahwa negara yang sangat kaya, negara yang luar biasa walaupun secara penduduk muslimnya kita tergeser oleh Pakistan dengan jumlah penduduk muslim sebanyak 248 Juta jiwa sementara Indonesia hanya berjumlah 236 juta jiwa.” katanya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan masyarakat Indonesia saat ini menganut agama yang sangat moderat.
“Apa itu radikalisme? Kita berbicara tentang sejarah yang di mana radikalisme itu terjadi di Indonesia sudah lama terutama yang mencolok itu setelah Indonesia merdeka tahun lima puluhan 1950 yang disusun oleh beberapa tokoh nasional maupun ulama-ulama besar yang ada di Indonesia. Oleh karna itu di negara kita mempunyai beragam suku, etnis, budaya dan agama maka tidak mungkin diambil salah satu agama islam, nasrani atau agama apapun sebagai dasar negara maka waktu itu tercetuslah Pancasila sebagai dasar negara karna kebijaksanaan orang-orang tua kita dahulu.” bebernya.
“Namun setelah Pancasila disahkan sebagai dasar negara ada beberapa kelompok yang tidak setuju pada tahun 1950 berdirilah Gerakan DI/TII.” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan DI/TII adalah Darul Islam yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia dan TII Tentara Islam Indonesia yang waktu itu di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.
Kelompok-kelompok tersebut banyak kembali muncul pada saat Bapak H. M. Soeharto menjadi Presiden Indonesia yang dimana pada saat itu era reformasi maka munculah kelompok-kelompok yang mempunyai keinginan, yang kita kenal sebagai Bom Bali yang dipimpin oleh Ali Gufron Als Mukhlas, Dr. Azhari, Amrozi dan sebagainya.
“Islam sesungguhnya simpel saja jika ingin kita berislam dengan bagus maka ikutilah ajaran Nabi Muhammad SAW.” tegasnya.
Kelompok yang ingin merubah tatanan sosial, tatanan politik, tatanan agama dengan cara kekerasan maka itu disebut sebagai radikalisme.
Radikalisme secara Ideologi yang dimana ingin membuat syariat negara islam dengan satu imam atau khalifah, kemudian Radikalisme secara fisik/kekerasan seperti contoh Bom Bali dan sebagainya yang pernah terjadi dinegara kita, ini adalah radikalisme secara fisik/kekerasan.
“Wilayah kita provinsi Kalimantan Utara yang merupakan perbatasan antara negara Indonesia – Malaysia yang tentunya perlu kewaspadaan secara ekstra.” tuturnya.
Penjelasan dilanjutkan dengan mengungkap bahwa Kalimantan Utara yang dikenal merupakan wilayah aman dan damai akan mudah disusupi oleh Jaringan kelompok Radikalisme ataupun Terorisme.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam dengan sistem asrama atau pondok kemudian masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya harus dilakukan kegiatan – kegiatan positif seperti dengan majelis penguatan moderasi beragama seperti saat ini.
“Semua itu bertujuan untuk menangkal masuknya paham Radikalisme dilingkungan Pondok Pesantren. Jadi kesimpulannya radikalisme itu adalah suatu paham, aliran atau gagasan yang menginginkan perubahan secara drastis dan dilakukan secara sepihak/spontan,” tegas penyuluh Kemenag Kab. Bulungan ini.
Terakhir Ustadz Gufron menyampaikan “Kita juga harus memasuki agama islam itu secara kaffah, apa yang dimaksud dengan islam secara kaffah yaitu Artinya, secara totalitas (kaffah), dirinya hanya berpihak kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya, bukan sekedar menjadikannya sebagai hafalan, pengetahuan, ataupun, bahan bacaan. Menjadi muslim kaffah merupakan tuntunan syariat yang berlaku sepanjang zaman.” pungkasnya.