Jakarta – Hasil Ijtima Ulama di Masjid Azikra Sentul Bogor Jawa Barat, berdasarkan pakta integritas TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) mendukung Paslon 01 Anies-Cak Imin, alasannya hanya Paslon 01 yang mampu membawa perubahan, inilah yang paling bisa menyalurkan aspirasi perubahan untuk Indonesia Bertaqwa. Ketua TPUA, Eggi Sudjana menyampaikan pendapatnya terkait proses penyelesaian sengketa pemilu yang sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi.
“Saat KPU RI (Komisi Pemilahan Umum) mengumumkan kemenangan Paslon 02, mulanya saya tergerak untuk ikut terlibat menjadi Tim Hukum Nasional (THN) Paslon 01 mengajukan Permohonan ke MK, tapi sayang, baru permulaan Permohonan tersebut di sampaikan ke MK, Partai NasDem dan PKS justru mengumumkan penerimaan Pemilu dan ucapan selamat kepada Prabowo Gibran,” ujar Ketua TPUA Eggi Sudjana.
Ia menyinggung soal PKS meralat, dan hanya akan mengumumkan sikap resmi setelah putusan MK. Menurutnya itu adalah satu sikap politik yang masih ambigu, karena pada akhirnya kuat dugaan akhirnya PKS menerima hasil Pemilu, dan kemenangan Prabowo Gibran akan menjadi legitimate.
Partai NasDem menurut dia juga telah menggelar karpet merah untuk Prabowo Gibran, ditengah upaya Anies dan Cak Imin berdarah-darah, berjuang untuk membatalkan kemenangan Prabowo Gibran di MK.
“Sebuah sikap politik pragmatis dari NasDem, yang prematur.” tandasnya.
“Adapun masa depan putusan MK, saya sudah tidak terlalu berharap, karena materi tuntutan Paslon 01 dan 03 juga semakin memudahkan MK untuk menyatakan permohonan tidak dapat diterima, karena meminta pembatalan pencawapresan Gibran dan lakukan Pemilu ulang tanpa Gibran.” sambungnya.
Ia menduga kuat MK hanya akan menolak lermohonan, bukan menyatakan tidak dapat diterima (NO).
“Masalahnya materi penetapan Capres Cawapres adalah kewenangan KPU yang semestinya dipersoalkan sesaat setelah ditetapkan. Sehingga, diupayakan dibatalkan melalui PTUN. Karena KPU juga badan TUN, sehingga produk keputusannya terkait penetapan Gibran sebagai Cawapres dibatalkan di PTUN, bukan di MK.” kata dia.
Baginya, MK secara spesifik hanya mengadili putusan penetapan hasil Pemilu yang dikeluarkan KPU. Dalam hal ini, objek putusannya adalah Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.
Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 inilah, yang diuji di MK. Bukan keputusan penetapan Paslon Peserta Pilpres 2024 yang didalamnya menetapkan Gibran sebagai Cawapres mendampingi Prabowo.
“Prediksi saya mengenai hasil bongkar-bongkaran di MK ini tidak berujung pada pembatalan kemenangan Prabowo Gibran.” tegasnya.
Ia membeberkan alasannya. Pertama, Penetapan Gibran sebagai Cawapres bukan domain MK. Sehingga, petitum untuk mendiskualifikasi Gibran kuat dugaan akan ditolak oleh MK. Kedua, kecurangan yang TSM sulit dibuktikan korelasinya dengan perolehan suara Prabowo Gibran.
“Karena yang dapat bansos, kalau ditanya banyak menjawabnya tidak dapat bansos apakah akan pilih Paslon 01, 02 atau 03, itu masih menjadi misteri siapa saja yang jadi saksi nantinya. Bahwa yang paling mungkin dibuktikan, adalah perolehan suara Paslon 02 karena faktor bansos dan pengerahan APH, ASN dan aparat desa, yang katanya pihak 03 akan datang kan saksi Kapolda, apakah berani?” ungkapnya.
Ia mengaku malu hati dan terbawa pemikiran jika mengemis perubahan melalui putaran sidang-sidang di MK.
“Dalam waktu 14 hari kedepan, kita semua tahu dan menyadari hanya diminta menunggu putusannya yang isi amar putusannya melegitimasi kemenangan Prabowo-Gibran.” ungkap Eggi.
Ia meyakini masih ada harapan tersisa adalah dakwah islam untuk masa depan umat dan bangsa. Tidak perlu lagi gerakan-gerakan People Power, apalagi sampai menggerakkan massa 1 juta hingga 2 juta untuk menekan Mahkamah Konstitusi. Ia juga menyinggung semangat pendukung Anies juga melemah, persis seperti fenomena pendukung Habib Rizieq Shihab (HRS).
“Saya malah berkesimpulan, memang sudah tak relevan meniti perubahan melalui proses pemilu, Saya kira, setelah peristiwa 2019, disusul pemilu 2024, saatnya umat Islam fokus dalam perubahan dengan dakwah Islam. Dakwah inilah yang steril dari tangan hipokrit para politisi, yang kendalinya ada pada umat, yang tidak bisa diintervensi oleh oligarki.” pungkasnya.