JAKARTA – Berbagai pihak mendukung penyelenggaraan pilkada serentak pada 2024 agar berbarengan dengan pelaksanaan pemilu. Pelaksanaan pilkada serentak pada 2024 dan meniadakan pilkada serentak 2022 dan 2023 mengacu pada Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyebut tahapan awal pemilihan umum 2024 kemungkinan besar dimulai pada Maret 2022. Dua tahun menjelang 2024, menurut Doli, akan menjadi tahun-tahun yang berat bagi partai politik.
“Karena pembahasan UU Pemilu tidak akan dilanjutkan pada tahun ini maupun tahun depan, sekarang ini kita fokus pada upaya mempersiapkan, mengonsep, dan merencanakan rangkaian Pemilu 2024,” tegas Ahmad Doli.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik online bertema “Strategi Penyelenggaraan dalam Melaksanakan Pemilu / Pilkada Serentak 2024, yang diinisiasi Lingkar Diskusi Indonesia, Kamis (8/4/2021).
Menurutnya, Komisi II banyak usulan seharusnya Pemilu harus tambah lebih baik, mudah, dan tidak menyeramkan maupun rumit. Maka harus ada modifikasi untuk mencari solusinya. Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menyebut pilkada serentak 2020 juga digelar secara pontang-panting di tengah pandemi Covid-19. Doli memperkirakan semua tahapan awal pilpres maupun pilleg bakal dilaksanakan pada Maret 2022. Alhasil, dua tahun menuju 2024 itu akan menjadi masa yang berat bagi partai untuk melakukan konsolidasi dan meraih kemenangan.
Menurut Doli, penerapan protokol kesehatan Covid-19 masuk di UU Pemilu memungkinkan jika kondisi pada 2024 masih sama seperti sekarang.
“Kita berharap vaksinasi yang dilakukan masif sampai tahun depan mampu mengatasi krisis pandemi ini sehingga 2024 pemilu berlangsung aman,” ucapnya.
Sementara itu, Komisioner KPU Hasyim Asy’ari mengingatkan kembali akan tujuan Pemilu yakni untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
“Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dengan kata lain, pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatan dan merupakan lembaga demokrasi,” bebernya.
Melalui pemilu, rakyat juga bisa menyampaikan keinginan dalam politik atau sistem kenegaraan. Kata dia, hitung-hitungan dimulainya tahapan Pemilu 2024 dengan menggunakan dasar Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Berdasarkan UU tersebut, perlu 20 bulan untuk menyiapkan segala tahapan sebelum pemilu terlaksanaan yang paling penting adalah simulasinya.
“Karena UU Pemilu memerintahkan, pelaksanaan Pemilu itu kan tahapannya 20 bulan. Kemudian kalau Pilkada itu kan 12 bulan Risiko bila persiapan Pemilu 2024 tidak disiapkan sejak dini (30 bulan) berpotensi masalah pada Pemilu 2019 dapat terulang bahkan lebih komplek karena dilakukan pemilu serentak dan pemilihan (kepala daerah) serentak pada tahun 2024,” paparnya.
Ditempat yang sama, Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengaku tidak heran apabila sikap partai-partai di DPR terpecah mengenai revisi UU Pemilu. Hal ini dikarenakan perubahan UU No. 7/2017 tentang Pemilu dan UU No. 10/2016 tentang Pilkada berkaitan langsung dengan pelaksanaan Pilkada mendatang, polemik revisi UU Pemilu justru bukan mengarah pada hal yang substansial untuk perbaikan kualitas demokrasi, melainkan hanya sebatas kepentingan partai.
“Karenanya, kalau nanti ada revisi, harus dikawal. Karena kepentingan partai seringkali berbeda dengan keinginan rakyat. Perpecahan fraksi di DPR yang terjadi saat ini justru lebih kental muatan politik praktis terkait untung rugi menjelang Pilpres 2024,” ucapnya.
Karenanya, ia menilai, sikap saling berseberangan antar partai politik (parpol) sebagai manuver dalam meraih atau mempertahankan kekuasaan pada pemerintahan, perbedaan sikap politik antarpartai di DPR terkait UU Pemilu, dengan adanya fraksi yang mendorong revisi UU Pemilu dan ada yang menolaknya, sebagai sikap yang wajar saja terjadi, pihak yang merasa lebih diuntungkan jika UU Pemilu dipertahankan, tentu akan berusaha menolak revisi. Sebaliknya, pihak yang merasa dirugikan jika UU dipertahankan, akan terus berusaha mendorong revisi.
“Termasuk di dalamnya adalah para pihak yang melihat prospek keuntungan politik lebih besar jika pilkada dilaksanakan pada 2022 dan 2023, Kalau 2022 atau 2023 kalau tidak ada pilkada, yang jadi korban politik, dalam tanda kutip, adalah kepala daerah yang selama ini selalu dikaitkan dengan pilpres, Anies, dan Ridwan Kamil,” sambungnya.
Mereka akan jadi korban dari sebuah yang tidak menguntungkan. Dalam beberapa survei, nama keduanya, bersama Ganjar berada di posisi atas, ketiga nama tersebut akan sulit maju pada Pilpres 2024 jika mereka tak lagi menjabat Gubernur. Lantaran mereka akan kehilangan momentum dan pengaruh karena tak lagi memiliki panggung politik.
“Tanpa panggung politik atau jabatan strategis pada pemerintahan, mereka butuh usaha ekstra bagi mereka untuk menjaga stamina politiknya. Salah satu cara agar dapat menjaga stamina politik tersebut,” kata Karyono.
Pemerhati Hukum Tatanegara Andi Syafrani menuturkan harus adanya penguatan-penguatan peran dan kapasitas elit lokal dan lembaga nonpemerintah untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya sistem pemerintahan. Elit lokal mempunyai peran yang cukup signifikan dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan mendorong demokratisasi di tingkat lokal. Sekaligus untuk menumbuhkan kesadaran dan memberikan pemahaman demokrasi kepada masyarakat yang lebih luas.
“Namun peran strategis dari elit lokal untuk menjadi corong demokratisasi, menjadi sangat dilematis, ketika mereka berafiliasi dengan kepentingan-kepentingan politik yang ingin mendapatkan konstituen pemilu, terutama dalam PILKADA langsung, demi kepentingan kelompok atau golongan,” jelasnya.
Pilkada ini merupakan suatu langkah spektakuler dalam kehidupan berdemokrasi di Tanah Air. Eksperimentasi politik tersebut menunjukkan bahwa partisipasi politik rakyat lah yang menentukan dalam pengisian-pengisian jabatan politik. Indikasi awal akan dilaksanakannya pilkada muncul ketika UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD, tidak diatur tentang kewenangan DPRD untuk memilih dan mengangkat kepala daerah.
“Dengan keluarnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah memang akan dilaksanakan secara langsung oleh rakyat yang diharapkan dapat menghadirkan kepemimpinan daerah yang demokratis, yakni bersih, jujur, anti KKN dan bertanggung jawab atau lazim disebut good governance. Muara dari seluruhnya adalah kesejahteraan dan keadilan sosial,” terang Andi.
Dalam kesempatan yang sama Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum LPBH NU Amsori, Pilkada memang berat dan lelah dalam pesta berdemokrasi dari pendidikan demokrasi yang maju. Pada dasar nya PBNU setuju dan mendukung pilkada serentak damai dan tidak ingin gontok gontokan.
“Saya rasa di pemilu 2024 tidak ada kekurangan kader, Pak Anies akan nganggur 2 tahun,” tukasnya.