Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, menyebutkan bahwa kesiapan pemilu 2024 atau secara umum sudah ikut terlibat membicarakan tentang bagaimana sistem politik dan demokrasi semakin baik dan berkualitas.
“Pemilu tahun 2024 itu adalah pemilu yang akan menjadi sejarah baru buat Indonesia adanya perubahan politik selalu dilakukan secara lompatan besar melalui reformasi.”, ujarnya.
Pengendalian Otonomi daerah dengan basisnya kabupaten/ kota melampaui provinsi, tahun 2005 yang secara langsung melakukan pemilihan Kepala Daerah. Kemudian tahun 2019 telah mulai menyepakati melaksanakan pemilu dengan masyarakat langsung, melakukan pemilihan dari 5 kertas suara dalam pemilihan umum. Sejarah mencatat banyaknya korban di Pemilu 2019.
Kejutan baru di pemilu 2024, akan dilaksanakan pemilu dan pilkada. Pada kesempatan sebelumnya, biasa dikerjakan dalam 10 tahun, 6 kali dengan waktu berbeda-beda. Yakni dari 2014 pemilu legislatif dan presiden, kemudian 2015 Pilkada serentak, tahun 2017 Pilkada serentak kedua, Pemilu serentak yang ke-3, tahun 2014 pemilu dan pemilu legislatif dan presiden tahun 2020.
“Terakhir ini yang nanti akan kita kerjakan sekaligus di 2024, pemilu yang sangat kompleks di dunia. Nanti kita akan mengalami kerumitan atau kompleksitas yang lebih tinggi.”, jelas Ahmad.
Dalam menghadapi Pemilu yang akan datang, Ahmad menjelaskan keinginan melaksanakan pemilu yang semakin mudah, menyenangkan dan menggembirakan.
“Bukan rumit, menakutkan, dan untuk melakukan itu dengan tekmas seperti e-counting, e-rekapiltulation, e-Voting , mana yang akan diterapkan dalam pelaksanaannya kedepan.” lanjutnya.
Dengan pengalaman yang banyak memakan korban, KPU RI sudah menyusun konsep digitalisasi atau elektronisasi dalam tahapan rekapitulasi. Secara konsep menurut Ahmad cukup bagus. Namun baginya masih ada kendala dalam pelaksanaannya karena membutuhkan waktu yg lama, perlu adanya sosialisasi.
“Pernah ke KPU Sulsel diskusi dengan seluruh komisioner KPUD, termasuk mendiskusikan apa evaluasi dan kendala yg dihadapi dlm pemilu kedepan dalam pelaksanaan rekapitulasi dengan e-Voting dan e-counting. Lihat pengalaman yang terjadi diluar negeri. e-voting dan e-counting seperti Jerman tahun 2009, sudah tidak akan melaksanakan sistem itu karena dianggap rawan adanya manipulasi. Belanda di 2006 juga beresiko adanya praktek politik, 2017 di Prancis, di Filipina juga terjadinya permasalahan yg terjadi adanya kerawanan yg terjadi.”, jelasnya lebih lanjut.
Timbulnya permasalahan hacker-hacker di dunia global yang bukan hanya permasalahan pemilu tetapi termasuk permasalahan keamanan.
” Harus kompatibel dalam permasalahan hukum yang diterapkan seperti disiplin, kode etik, dan ketertiban hukum yang resikonya memang menimbulkan kekisruhan politik baru.”, tukas Ahmad.
Kesimpulannya adalah adanya keinginan pemilu untuk lebih baik dan ramah dalam menerapkan elektronisasi dengan memilih apakah e-voting, e-counting, dan e-rekapitulation yang sudah disiapkan sebelumnya, dengan harapan kedepannya kita mempunyai hasil pemilu yang lebih baik.