Riau – Gubernur Kepri, Ansar Ahmad memberikan sinyal positif dengan akan dibukanya kran ekspor pasir laut. Menurutnya, Pemprov Kepri akan meminta penjelasan yang kongkrit kepada pemerintah pusat, terkait kontribusi yang akan didapat oleh daerah.
“Kami akan berkoordinasi dulu terkait teknisnya seperti apa. Begitu juga mengenai kontribusi yang akan didapatkan oleh daerah nantinya,” ujar Gubernur Ansar, hari ini.
Ansar tidak menampik, dengan aktifnya aktivitas tambang pasir laut nantinya, akan berdampak pada kegiatan nelayan di wilayah yang akan dilaksanakan tambang. Maka dari itu, pihaknya juga akan mempertanyakan terkait kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR).
“Kepentingan nelayan harus menjadi atensi besar, mereka juga harus mendapatkan manfaat yang besar nantinya,” tegas Gubernur.
Disinggung mengenai benefit bagi Provinsi Kepri dengan dibukanya kran tambang pasir laut itu nanti? Terkait ini, Gubernur mengatakan, dari hasil telaah sementara, pendapatan dari aktivitas tersebut akan menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Kita tahu, PNBP adalah kewenangan pusat, bukan daerah. Ini juga menjadi aspek yang akan kita bahas nantinya bersama Pemerintah Pusat,” tegasnya lagi.
Lebih lanjut katanya, untuk perizinan aktivitas pertambangan itu nanti, merujuk dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut tersebut dikeluarkan oleh Pemeirntah Pusat. Sehingga kewenangannya akan berada di Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kelauatan dan Perikanan.
“Kalau izin dari pembersihan material yang bernilai ekonomi adalah melalui Kementerian Pertambangan atau Gubernur sebagai Kepala Daerah,” tutup Gubernur Ansar.
Sebelumnya, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pujiastuti menetang keputusan Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Menurutnya, kebijakan itu hanya memberikan dampak kerusakan lingkungan.
“Kebijakan itu akan merusak lingkungan. Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar,” ujar Susi.
Susi menerangkan saat ini perubahan iklim atau climate change sudah terasa. Ia mengatakan ekspor pasir laut tersebut akan memperparah kondisi iklim Indonesia. Ditegaskannya, apabila kebijakan tambang pasir diberikan, akan memperparah kerusakan lingkungan.
“Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut,” jelasnya.
Protes yang disampaikan oleh Puji Astuti ini tentunya sangat berpihak pada kepentingan nelayan dan lingkungan. Apalagi ketika ia masih aktif menjadi Menteri KKP beberapa waktu lalu, tidak ada ruang bagi aktivitas tambang, khususnya tambang pasir laut.
“Saya minta ini dibatalkan, jangan sampai kebijakan ini memberikan kerugian besar pada kerusakan lingkungan,” tegasnya.
Seperti diketahui, lewat Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi, Kelompok Kerja (Pokja) dan Panitia Khusus (Pansus) Ranperda RZWP3K DPRD Kepri sudah menyepati 10 titik kawasan pertambangan strategis non logam (pasir laut).
Jumlah tersebut tersebar di Kabupaten Karimun, Kota Batam, dan Kabupaten Lingga. Adapun luas ruang laut yang akan dijadikan kawasan pertambangan non logam adalah 52.720,98 Ha. Berdasarkan draf Ranperda yang sudah dibukukan pada 2018 lalu, di Bumi Berazam, Karimun terdapat enam titik pertambangan pasir laut dengan luas area 46.759,17 Ha.
Kemudian di Batam sudah disepakati Galang dan Belakangpadang sebagai lokasi pertambangan pasir laut yang memanfaatkan ruang laut seluas 2.320,91 Ha. Sedangkan di Kabupaten Lingga hanya ada satu titik yang ditetapkan, yakni dengan luas 3.640,90 H.