JAKARTA – Memasuki tahun politik yang kian memanas, Direktur Kemanan Negara Baintelkam Polri Brigjen Pol. Djoko Mulyono mengajak semua elemen masyarakat untuk tetap bersatu dan tidak mudah terhasut provokasi atau bisikan setan yang berujung perpecahan dan gerakan intoleransi.
“Jangan mudah percaya dengan bisikan setan. Semua elemen masyarakat harus tetap bersatu jangan tercerai berai,” tegas Djoko Mulyono.
Hal itu mengemuka saat diskusi publik bertema “Membangun Kebersamaan Antara Polri dan Segenap Elemen Masyarakat dalam Membendung Intoleransi” di D’Hotel Jalan Sultan Agung Guntur Setiabudi Jaksel, Jumat (7/12/2018).
Lebih lanjut, Jenderal bintang satu ini berpesan agar tetap menanamkan kembali Pancasila untuk tetap saling toleransi, menghargai dan menghormati.
“Jangan sebaliknya suka mengkafirkan orang. Kita harus kembali memikirkan bangsa kedepan, jangan sampai anak cucu kita nanti menjadi korban,” kata dia lagi.
Sementara itu, Presiden Majelis Dzikir RI 1 Habib Salim Jindan Baharun memuji revolusi mental yang digaungkan Presiden Jokowi.
“Presiden kita luar biasa cerdasnya, karena beliau digerakkan lidahnya dengan mengeluarkan revolusi mental. Revolusi mental itu baik sesuai amanat Bapak Presiden Jokowi tapi masalahnya sekarang revolusi mental itu sudah hilang. Makanya kita butuh revolusi mental itu betul,” bebernya.
Habib Salim meminta agar kembalikan lagi revolusi mental Jokowi dengan amal agama, dan saling mengingatkan. Kata dia, semua anak bangsa wajib bersatu menangkal intoleransi. Dia juga mengakui jika jelang Pilpres intoleransi sangat berpotensi terjadi.
“Sebenarnya gampang mengantisipasinya. Cara counternya gampang, kumpulkan para tokoh-tokoh yang dianggap keras dan intoleran, ajak dzikir bersama ingatkan kapan sih kita mati, ajak mereka nangis bersama, apakah kita merasa paling beriman dan beragama. Pakai konsep mengingatkan diri,” pesan Habib Salim lagi.
“Kalau ada yang dianggap garis keras dan suara intoleransi khilafah, kita pandang mereka sebagai anak bangsa, jangan pandang sebagai musuh dan orang menakutkan. Anggap mereka anak yang lagi nakal dan butuh dirangkul dan mereka hanya cari perhatian,” tambah dia lagi.
Ditempat yang sama, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Pendeta Henrek Lokra menyayangkan toleransi semakin melemah jika memasuki momentum politik.
‘Toleransi kita menguat di tahun 2015. Kalau ada momentum politik toleransi kita melemah. Tapi kalau gak ada momentum politik maka kita bisa kembali ke nature kita sebagai masyarakat berbasis pancasila,” cetusnya.
Dia melanjutkan bahwa momentum politik yang sebetulnya memobilisasi banyak sekali kepentingan dan simpul yang bisa digerakkan untuk membakar emosi dan psikologi massa di ruang publik adalah agama.
“Dinamika ini harus kita siasati. Pers harus bisa bantu untuk mempersatukan kembali,” katanya.
Cendikiawan Muda NU Nur Ahmad Satria mengingatkan agar para Capres yang bertarung di Pilpres 2019 untuk tidak memakai isu agama. Kata dia, justru jika memakai isu agama maka kekalahan ada didepan mata.
“Elite politik pertimbangkan kepentingan bangsa lebih besar dari kepentingan pribadi. Jangan pakai isu-isu agama. Jangan jadikan agama buat main-main. Kalau yang pakai isu agama insya Allah gak pernah menang dalam konteks sebenarnya,” terang Ahmad Satria.
Humas Kominfo Ferdinandus Setu mengajak masyarakat untuk tidak menanggapi politik secara berlebihan jelang Pilpres 2019 ini.
“Perbedaan itu wajar so what gitu, anak kembar saja DNA nya pasti berbeda. Perbedaan adalah sesuatu yang ada. Jangan menyikapi perbedaan di medsos terlalu lebay. Kita memandang Indonesia dengan toleransi maka akan indah sekali,” pungkasnya.